Pend. Dokter Gigi UMS (Windi)

Yakin mau jadi dokter gigi?

Hallo intipers! Kenalan dulu ya! Katanya, tak kenal maka tak sayang. Perkenalkan namaku Windi Pitriyani. Orang sunda ya?. Ya, Aku biasa dipanggil Windi. Mahasiswa pendidikan kedokteran gigi Universitas Muhammadiyah Surakarta (UMS) angkatan 2014. Mahasiswa semester 7 yang saat ini tengah menjadi pengabdi skripsi.

Kok ga ambil jurusan kedokteran beneran aja? Kenapa sih gigi doang  harus ada dokternya? Sakit gigi obatnya apa?  Bener ga sih cabut gigi bisa bikin mata buta? Jangan ke dokter gigi ah mahal tarifnya!.

Klik Gambar Di Bawah Jika Tertarik Masuk Grup Whatsapp untuk info konsultasi jurusan, info TO online, live jurusan, dsb.

 

FKG sering disebut Fakultas Kebanyakan Gadis. Kenapa? karena mayoritas Mahasiswa KG adalah cewek. Maka dari itu tak jarang banyak yang mengepakan sayap ke fakultas bahkan universitas lain untuk mendapatkan pasangan. Wkwk Di UMS, jenjang S-1 Pendidikan Dokter Gigi ditempuh selama 4 tahun untuk mendapatkan gelar “S.KG” (Sarjana Kedokteran Gigi). Dilanjutkan dengan pendidikan profesi selama 2 tahun. Selama 4 tahun kami harus belajar teori (masa preklinik). Mata kuliah terbagi ke dalam sistem blok. Dimana satu blok setara dengan 5-6 sks dengan waktu tempuh selama 5 atau 6 minggu. Total ada 21 blok yang harus kami hadapi untuk menyelesaikan S-1. Satu semester terdiri dari 3 blok dan setiap blok diakhiri dengan ujian. Jadi setiap 5-6 minggu sekali kami harus merasakan yang namanya ujian blok. Disini  kami gak cuma belajar mengenai gigi aja lho. Kami juga mendapatkan pemahaman tentang kedokteran dasar di blok khusus. Itu artinya kami  juga harus paham  mengenai sistem anatomi, fisiologi, histologi dan biokimia. Karena dokter gigi pun akan berhadapan dengan manusia, pasiennya nanti. Sistem belajar kami dengan PBL (Problem Based Learning). Setiap minggunya kami diberikan skenario berupa kasus untuk dipecahkan bersama secara kelompok. Satu kelompok terdiri dari 10 orang. Kami sebut kelompok tutorial.

Gambar 1. Fakultas Kebanyakan Gadis. Foto ini diambil tahun 2015

Setiap semesternya juga ada yang namanya Skill Lab. Ada banyak alat-alat yang harus dibeli demi kelancaran SL ini. Tak jarang kami memakai uang jajan buat beli alat-alat. Bukan karena ga dikirim uang oleh orangtua. Kami segan untuk terus-menerus meminta uang, sedangkan harganya bisa dibilang ga murah. Kami harus menahan diri biar gak boros jajan atau beli barang-barang yang kurang penting. Jadi, jangan masuk KG kalo ga rela uang jajannya dipakai buat beli alat. SL di KG macam-macam materinya. Yang paling berkesan adalah pembuatan kawat klamer buat perawatan ortho lepasan. Jari-jari tangan manja dan halus kami relakan memegang tang-tang ortho. Tak jarang tangan kami menjadi kapalan, melepuh bahkan berdarah karena tertusuk kawat. Tapi itulah yang ga akan bisa dilupain. Bukan mahasiswa KG, kalo belum ngerasain sakitnya tertusuk kawat. Merebus kuvet dan pres. Ituloh alat yang sepintas mirip alat tambal ban. Kami rela menunggu berjam-jam demi mendapatkan protesa gigi tiruan. Kalo ditanya kami bisa masak? Ya tentu masak kuvet dan pres. Belum lagi kami harus ngerasain basis akrilik yang patah. Ini sakit tapi gak berdarah. Dan masih banyaaak lagi tragedi. Oke lanjut ke praktikum. Praktikum di KG butuh mental yang kuat. Kami harus mencari gigi manusia untuk dipelajari morfologi setiap giginya. Bahkan kami harus mencarinya ke setiap klinik, puskesmas dan RS. Dan pernah ada petugas puskesmas yang menyarankan kami mencari di kuburan. Sereeem kan? Eh lebih serem mana sama rumah mantan? Ya kali nyari gigi harus ke kuburan? Gali tanah kuburan maksudnya? Hihihi. Pernah tuh ga dapet satupun gigi. Finally, kami rela membayar berapapun harga demi gigi itu ada ditangan kami. Asli, cari gigi lebih susah dibandingkan cari jodoh. Eeeh, bener sih. Yang bilang cari jodoh susah pasti belum pernah ngerasain rasanya cari gigi buat praktikum. Hmm… tapi bukannya jodoh gausah dicari ya, nanti bakal datang sendiri. Udah ada yang ngatur. Deketin aja yang ngaturnya. Iya kan? 🙂

Gambar 2. Mahasiswa baru yang bangga memakai jas lab. Foto ini diambil pasca praktikum fisiologi (2014).

Tiap akhir semester selalu ada ujian OSCE atau dikampusku sering disebut SOCA (Student Oral Case Analysis). Ujian ini menjadi salah satu bumerang. Dimana sebelumnya kami harus belajar mati-matian. Dalam setiap stase, mahasiswa akan diberi skenario. Melalui skenario tersebut, pemahaman mahasiswa mengenai suatu materi diuji secara lisan. Dan kami percaya kelulusan ujian ini dipengaruhi oleh 50% dosen penguji. 30% hoki, dan 20% kecerdasan.  Dalam setiap akhir semester terdiri dari berbagai macam stase. Mulai dari 2,3 bahkan 9 stase. Oleh karena itu, kami harus mempersiapkan dengan matang. Dalam waktu 10 menit/stase kami harus menyelesaikan tantangan. Walau dengan mulut yang berbuih-buih sambil tangan melakukan simulasi.

Untuk menjadi dokter gigi pasti belajar terus ya? Nggak kok. Banyak dari kami yang aktif dalam berbagai macam organisasi. BEM, DPM, IMM, Modesco, dan UKM fakultas bahkan universitas. Kami memang harus belajar, tapi kami sadar untuk menjadi dekat dengan masyarakat tidak semudah menghafal nervus-nervus yang menginervasi gigi-geligi. Dengan kegiatan program kerja kami bisa belajar berinteraksi, melakukan pemeriksaan dan pengobatan. Bakti sosial contohnya.

Gambar 3. “Yang bersih ya dek sikat giginya”. Foto diambil pada kegiatan bakti sosial tahun 2016

Nano-nano banget deh perjuangannya. Kerasa banget sekarang. Semester 7 ini. Ketika kami ingin fokus 100% ke skripsweet, tapi nyatanya ga bisa. Masih ada tugas blok dan skill lab yang sangat menguras tenaga dan pikiran. Hectic? Sering banget ngalamin. Apalagi kalo lagi di titik jenuh. Sejenuh-jenuhnya. Ketika jiwa dan otak fokus ke skripsweet, tapi raga dan tangan harus fokus ke tugas Skill Lab yang ada didepan mata. Ini aku rasain banget. Eh jadi curcol.

[Pengalaman Kuliah di FKG Unpad]

 

Sering banget aku dikasih nasihat dari seorang kakak tingkat, yang saat ini lagi koas. Katanya, ini belum seberapa. Dosenku juga bilang ini hanya sentilan kecil yang gak pantas kita keluhkan terus menerus. Padahal didepan masih banyak tantangan yang siap menghadang. Oke, S-1 ini harus bener-bener aku nikmati. Masih ada koas yang “katanya” amat sangat melelahkan. Mau cerita dikit nih, apasih bedanya koas gigi dan koas umum? Jenjang profesi kedokteran gigi sekitar 2 tahun, tapi banyak yang melebihi batas waktu. Karena harus menyelesaikan requirements dari kampus. Berupa berbagai macam kasus yang ada di pasien. Jadi koas gigi harus tahan banting. Cari pasien kesana-kemari demi mendapatkan pasien yang sesuai harapan. Bahkan rela antar-jemput ke rumahnya. Nyarinya susaaah. Selain bisa dapat pasien dari teman atau kenalan, koas gigi juga harus rela nyari ke gang-gang kecil. Rela banget bayarin biaya perawatan pasien. Setelah 2 tahun koas, maka koas gigi akan dihadapkan pada Uji Kompetensi Mahasiswa Program Profesi Dokter Gigi (UKMP2DG). Panjang dan susah ya ngejanya? Sepanjang dan sesuasah perjalanan untuk menjadi seorang dokter gigi. Semua mahasiswa yang ingin menjadi dokter gigi harus mengikuti Ujian ini. Barulah dapat gelar “Drg”. Koas umum juga sama, jenjang waktu 2 tahun. Namun mereka bisa langsung ditempatkan di puskesmas atau RS sesuai dengan stasenya. Mereka juga tidak harus mencari pasien sendiri. Ini bedanya. Bukan bermaksud membandingkan. Keduanya sama-sama butuh effort yang gak biasa-biasa. Sama-sama harus berjuang biar bisa dipanggil “dokter”.

Pernah ada seorang dosen bilang, “Tidak semua orang bisa masuk KG dan keluar menjadi seorang dokter gigi”. Dari penyataan itu aku paham, bahwa perjalanan menjadi seorang dokter gigi itu butuh perjuangan, usaha dan do’a. Dengan berbagai macam ujian yang harus kami taklukan. Hanya orang-orang yang gagah, tangguh dan tahan banting yang bisa tercetak menjadi seorang “dokter gigi”. Awalnya aku masuk KG karena ketidaksengajaan. Aku sendiri pernah ngerasa salah jurusan. Tapi bukankah Tuhan menaruhku disini bukan karena kebetulan. Namun ada kejutan yang saat ini masih dirahasiakan-Nya. Dan aku selalu percaya itu. Waktu demi waktu, aku semakin mencintai prodi ini. Dan akan terus cinta.

Kujawab pertanyaan diatas tadi. Dokter gigi adalah seorang dokter yang juga berkompetensi merawat pasien. Dokter gigi itu dokter beneran bukan dokter boongan Faktanya Kedokteran Gigi sering dinomorduakan. Bahkan sampai saat ini Setelah aku masuk prodi ini barulah kutahu bahwa dari hal seremeh gigi bisa memungkinkan seseorang terkena berbagai macam penyakit sistemik. Lho kok bisa? Ya, produk bakteri dari gigi yang ga terawat bisa menjadi penyebab dengan mengikuti aliran darah kemudian masuk dan menetap di berbagai organ, contohnya jantung. Jadilah penyakit jantung. Orang rela membayar mahal behel karena ingin giginya rapi, dll. Sakit gigi ga bisa hanya disembuhkan dengan minum obat. Obat sifatnya hanya meredakan. Kalo efeknya udah hilang, sakitnya bakal timbul lagi. Maka harus dilakukan perawatan. Cabut gigi bisa bikin mata buta? Itu mitos. Emang bisa, tapi bukan karna cabut giginya, tapi karna mungkin teknik yang ga sesuai dan ada faktor pemicu. Dan ini jarang terjadi.

DENTIST (Doctor, Engineer, and Artist). Selain menjadi dokter, kami juga harus bertangan baja, mencabut gigi juga butuh tenaga. Kami juga harus punya skill mumpuni dalam mengukir tambalan dan merawat gigi pasien agar menambah estetik saat senyum. Dulu cuma tahu tentang cabut dan tambal gigi. Setelah terjun langsung kesini, ternyata banyak banget perawatan KG ini. Restorasi, Scalling, PSA, pulpotomi, gingivektomi, frenektomi, GTL, GTC, Implan, ortho, dan masih banyak lagi (mungkin yang paham ini hanya mahasiswa KG). Ga heran kalo biaya perawatan bisa dibilang mahal. Contohnya tambal gigi kalo kasusnya masih ringan, biaya juga ringan. Tapi kalo lubangnya udah parah, biayanya juga lebih mahal. Jadi yuk jaga kesehatan gigi dan mulut kita! Jangan lupa sikat gigi minimal 2x sehari dan periksakan gigi ke dokter gigi minimal 6 bulan sekali. Jangan takut pergi ke dokter gigi. Biaya perawatan mahal jangan disalahkan atau dikambinghitamkan ya. Kesehatanmu lebih mahal lho.

Dan kalo kamu ditanya lebih baik sakit gigi atau sakit hati? Jawab aja gini.”Semuanya tentu ga baik. Tapi aku lebih pilih sakit gigi, kan ada dokter giginya”. Hehe

Terimakasih sudah menyempatkan untuk membaca. Salam!

Semoga bermanfaat. J

Windi Pitriyani

Solo, 26 September 2017

Ditulis ditengah mendengar panggilan revisi skripsi yang terus memanggil untuk ditengok kembali.


Tentang penulis

Windi Pitriyani yang dari namanya aja udah keliatan orang sunda. Mahasiswa Pendidikan Dokter Gigi angkatan 2014 – UMS. Mahasiswa S-1 yang saat ini sedang berjuang untuk mendapatkan gelar S.KG. Seorang yang menyebut dirinya pecandu puisi, karena memang mencintai salah satu karya sastra ini. Mohon doanya semoga penulis masuk kedalam golongan mahasiswa yang tangguh dan tahan banting menghadapi challenges agar kelak bisa dipanggil dengan sebutan “dokter”. Bisa membahagiakan orangtua. Berguna bagi agama, nusa dan bangsa dengan menjadi dokter gigi soleha, amanah dan profesional.

Find me at :

Instagram        : @windiptr_

Tumblr             : windipitri.tumblr.com

Kode Konten: X269

3 thoughts on “Pend. Dokter Gigi UMS (Windi)”

    1. Hallo kak, mau nanya di UMS kan itungan nya perSks. Itu kira2 satu semester berapa sks, terimakasih. Semoga dijawab 🙂

  1. assalamualaikum kak saya ingin masuk fkg tapi saya jurusan ips karna dulu saya gak punya cita-cita setelah saya perwatan gigi saya rasanya juga pengen jadi dokter gigi . bisakah jurusan ips masuk fkg?

Ayo komen disini untuk bertanya ke penulis ! Kami akan kirim balasan melalui email

Your email address will not be published. Required fields are marked *